Setiap 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Sayangnya, peringatan ini kerap kali direduksi menjadi seremonial semata, lengkap dengan pakaian adat dan perlombaan. Padahal, yang lebih substansial untuk diangkat adalah warisan pemikiran Kartini yang progresif dan tetap relevan dalam konteks zaman modern.
Sebagai perempuan Jawa ningrat di akhir abad ke-19, Kartini memiliki akses terhadap pendidikan yang, pada zamannya, merupakan hak istimewa. Namun alih-alih menikmatinya secara pasif, ia justru menjadi pemikir kritis yang berani mempertanyakan sistem sosial yang timpang—khususnya dalam hal peran dan kedudukan perempuan.
Dalam korespondensinya yang kemudian dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menulis dengan penuh refleksi tentang pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan keadilan sosial. Ia menolak pandangan bahwa perempuan cukup berada di ranah domestik, dan menyuarakan harapan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensi intelektual dan spiritualnya.
Salah satu gagasan sentral Kartini adalah pentingnya pendidikan sebagai alat emansipasi. Baginya, pendidikan bukan hanya hak, tetapi juga kebutuhan mendasar agar perempuan dapat berdiri setara dengan laki-laki dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Kartini tidak hanya berhenti pada gagasan. Ia mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi, sebagai bentuk nyata dari cita-citanya. Gagasan ini menjadi fondasi awal dari gerakan pendidikan perempuan di Indonesia, yang kemudian diteruskan oleh berbagai tokoh perempuan setelahnya.
Dalam konteks saat ini, semangat Kartini tetap aktual. Meskipun perempuan telah memperoleh akses pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih luas, tantangan struktural dan kultural masih membayangi. Ketimpangan gender, kekerasan berbasis gender, dan stereotip peran perempuan masih menjadi isu yang perlu diatasi bersama.
Kartini masa kini tidak harus menjadi aktivis jalanan. Ia bisa hadir dalam bentuk guru di pelosok negeri yang gigih mencerdaskan generasi muda, pemimpin perempuan yang membawa perubahan di ranah politik, atau ibu rumah tangga yang membesarkan anak-anak dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.
Warisan terbesar Kartini bukan pada seremonial peringatan hari lahirnya, melainkan pada semangat intelektual dan moral yang ia wariskan. Kartini mengajarkan pentingnya berpikir kritis, memperjuangkan keadilan secara damai, serta menghargai martabat manusia tanpa memandang jenis kelamin.
Sebagaimana ia tulis dalam salah satu suratnya:
“Saya tidak ingin lagi melihat perempuan kita hanya menjadi alat penghibur laki-laki semata. Saya ingin mereka menjadi manusia yang berharga, yang turut membangun masyarakat dengan ilmunya, jiwanya, dan semangatnya.”
Meneladani Kartini adalah dengan terus memperjuangkan nilai-nilai yang ia yakini. Dalam dunia yang terus berubah, pemikiran Kartini tetap menjadi pelita yang membimbing kita menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.