Saat AI Masuk ke Dunia Seni
Dalam era digital yang terus berkembang, AI kini tidak hanya digunakan dalam perhitungan data atau otomasi industri, tapi juga telah merambah ke dunia seni. Berbagai platform seperti MidJourney, DALL·E, dan Stable Diffusion memungkinkan siapa pun membuat ilustrasi gambar hanya dengan mengetikkan prompt sesuai kebutuhan. Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi kegelisahan besar dari para seniman konvensional maupun digital: Apakah mereka akan tergantikan oleh mesin?
1. Ketakutan yang Nyata: Dari Alat Menjadi Kompetitor
Banyak seniman awalnya melihat AI sebagai alat bantu — sekadar mempercepat proses, atau membantu eksplorasi ide. Tapi seiring AI semakin canggih, peran manusia makin terpinggirkan. AI tidak hanya menghasilkan karya dengan cepat dan murah (bahkan ada beberapa yang gratis), tapi juga bisa meniru gaya visual para seniman dengan hasil yang nyaris tak bisa dibedakan.
Ini menciptakan ketakutan nyata:
Bagaimana seniman bisa bersaing dengan sesuatu yang tak tidur, tak butuh bayaran, dan tak pernah kehabisan ide?
2. Ketimpangan yang Menyakitkan
Seniman konvensional maupun digital menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengasah kemampuan mereka. Sementara AI belajar dari miliaran karya visual — seringkali tanpa izin dari pembuat aslinya. Ini bukan persaingan yang adil.
Salah satu seniman pernah berkata:
“Kami bukan takut pada AI. Kami takut karena kami hidup di dunia yang lebih memilih hasil cepat dan murah, daripada menghargai proses dan jiwa di balik karya.”
Dan yang lebih menyedihkan, AI bukan hanya dipakai sebagai alat eksplorasi. Ia sudah mulai dipakai untuk menggantikan seniman dalam proyek-proyek nyata — dengan alasan efisiensi.
3. Suara Seniman: Bukan Hanya Salah AI, Tapi Budaya yang Tak Menghargai
Ini bukan hanya masalah teknologi. Ini juga tentang bagaimana budaya dan sistem di negara ini memperlakukan seni. Seperti yang dikatakan oleh seorang seniman:
“Salahnya itu di negara Indonesia yang nggak pernah menghargai yang namanya Seni. Seni dibayar murah, apalagi ada AI ini, mereka semakin terang-terangan pilih yang gratis bahkan sampai dijadikan ladang komersil.” (Inagrafis)
Masalahnya bukan muncul sekarang. Sudah sejak lama seniman di Indonesia harus menghadapi undervaluation — dianggap hobi, bukan profesi. Komisi ditawar, revisi tak dibayar, bahkan ada yang diminta kerja “ikhlas karena temenan.”
Lalu ketika AI datang, sistem yang sudah rapuh ini justru makin runtuh. AI jadi alasan untuk menekan harga, melewati seniman, dan mengambil karya seenaknya.
4. Seni Bukan Hanya Soal Hasil
Kita harus ingat: seni bukan hanya tentang hasil akhir, tapi juga tentang proses dan makna di balik penciptaannya.
AI bisa meniru bentuk, tapi tidak bisa meniru perjalanan emosional saat seorang seniman menciptakan karyanya. Ia tidak bisa memahami trauma, cinta, pengalaman hidup, dan intuisi manusia — elemen-elemen tak kasat mata yang justru membuat sebuah karya seni “hidup.”
5. Harapan: Saatnya Menyuarakan Nilai Seni
Ketakutan ini jangan hanya jadi keluhan. Ini harus jadi dorongan untuk menyuarakan kembali pentingnya menghargai seni dan seniman.
🔸 Edukasi masyarakat soal nilai di balik karya seni.
🔸 Dorong regulasi perlindungan karya terhadap penggunaan oleh AI.
🔸 Bangun komunitas yang saling support, bukan saling banting harga.
🔸 Ajukan pertanyaan kritis: Apakah kita mau hidup di dunia yang semua seninya diciptakan oleh mesin tanpa jiwa?
Penutup Sesi Curhatan Kali Ini
AI bisa berbalik menjadi musuh dalam beberapa aspek yang merugikan manusia. Tapi satu hal yang perlu diingat, bahwa negara ini memiliki sistem dan budaya yang meremehkan nilai manusia dalam proses kreatif — itulah tantangan kita yang sesungguhnya.
Sebagai seniman, kamu punya suara. Dan sekaranglah waktunya untuk bersuara — tentang harga, tentang martabat, dan tentang jiwa dalam setiap goresan tanganmu.